lusihkas.blogspot.com - By Eep Khunaefi
alam terjemahan al-Qur’an yg disusun oleh Departemen Agama RI, kata sya'b diterjemahkan sebagai "bangsa". Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, kata ni hanya sekali ditemukan dlm Al-Quran dan berbentuk plural. Sementara pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip oleh At-Tabarsi dlm tafsirnya-- memahami kata sya'b dgn arti kelompok non-Arab, sama dgn qabilah untk suku-suku Arab. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dlm Wawasan Al-Qur’an, kata ni sebenarnya bermakna dua: cabang dan rumpun. Jadi, kata sya’b tak menunjukkan arti bangsa sama sekali. Meski begitu, katanya, hal ni tak lantas menjadikan surat Al-Hujurat ayat 13 di atas tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yg direstui Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tak sekadar menyatakan bahwa kata sya'b sama dgn bangsa / kebangsaan.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, salah seorang faqih abad ini, dlm kitab tafsir beliau, memaparkan bahwa ayat ni merupakan ayat yg menjelaskan persamaan kedudukan seluruh manusia, tak ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah seorang di antara mereka dibandingkan yg lain, karena seluruh manusia berasal dari bapak dan ibu yg sama. Beliau jg menjelaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adlh untk saling mengenal, bukan untk saling membanggakan nasab. Kuntowijoyo dlm Identitas Politik Umat Islam menulis bahwa setidaknya ada dua hal yg dpt kita tarik dari ayat di atas. Pertama, pd mulanya manusia itu satu, yg menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah Tuhan, dan yg mengukur kemuliaan ialah Tuhan. Jadi, ada lingkaran yg berawal dan berakhir pd Tuhan, teosentrisme. Kedua, manusia secara objektif memang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Manusia itu secara ontologis (berdasar kenyataan) memang makhluk sosial, sehingga mereka berkelompok dlm bangsa dan suku. Dalam istilah bangsa dan suku mesti dimasukkan agama, kelas, budaya, partai dan sebagainya. Dengan kata lain, Islam mengajarkan untk berpikir dan berperilaku objektif. Dari ayat ni jelas bahwa filsafat sosial Islam, termasuk hukum, etika, ekonomi, dan politik adlh objektivisme teosentris. Dalam suatu riwayat, ayat ni diturunkan berkenaan dgn kisah Bilal bin Rabah. Saat peristiwa Futuh Mekkah, bilal naik ke atas Ka’bah untk mengumandangkan azan. Melihat akan hal ini, maka ada beberapa orang yg berkata: Apakah pantas budak hitam macam dia mengumandangkan azan di atas Ka’bah? Maka berkatalah yg lainnya: Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. Lalu turunlah ayat ni untk menegaskan bahwa di dlm Islam tak ada diskriminasi. Orang yg paling mulia di sisi Allah adlh orang yg paling takwa. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Mulaikah) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ni turun berkenaan dgn Abi Hindin yg oleh Rasulullah hendak dikawinkan dgn seorang wanita Bayadhah. Bani Bayadhah berkata: Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami? Ayat ni turun sebagai penjelasan bahwa dlm Islam tak ada perbedaan antara bekas budak dgn orang merdeka. (HR. Ibnu Asakir dlm Kitab Muhammat yang ditulis oleh Ibnu Basykual dari Abu Bakar bin Abi Dawud dlm tafsirnya) Menurut Kunto, karena al-Qur’an menegaskan adanya kelompok dan solidaritas ini, maka eksistensi keduanya merupakan Fithrah (sunnatullah), yg tak akan berubah (QS. Yunus [10]: 64). Dan seperti dikatakan oleh al-Qur’an, tujuan dari semuanya ni adlh ta’arruf, saling mengenal. Ta’arruf berasal dari kata ‘arafa yg berarti mengerti. Dari mengerti ni akan diharapkan seseorang bisa memaafkan orang lain. Karena itu, dlm pepatah Perancis disebutkan tout comprendrer est tout pardonner, mengerti berarti memaafkan. Menurut Kunto, ta’arruf menjadi salah satu prinsip dari demokrasi. Dalam suatu masyarakat demokratis, semua orang harus mengerti kepentingan orang lain, sehingga hak-hak orang lain tak dilanggar. Menurutnya, setidaknya ada empat hal di mana ta’arruf bisa dilaksanakan. Pertama, ta’arruf hanya bisa berjalan kalau ada equality (persamaan). Persamaan hak antara orang yg berkulit putih dan hitam, antara suku Jawa, Sunda, Makassar, dan suku-suku lainnya di Indonesia maupun dunia, dan jg sama antara laki-laki dan perempuan. Sebab, tujuan dari adanya ta’arruf ni adlh takwah seperti bunyi akhir ayat di atas. Karena itu, ketakwaan tak akan tercipta kalau dlm ta’arruf ni kita mengabaikan unsur kesamaan derajat di antara kita. Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dlm bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa, "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dpt (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki: potensi dan kemampuan yg cukup untk memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ni dpt melaksanakan aktivitas-aktivitas yg bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dlm satu kerangka. Yang ni (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yg itu (perempuan) jg demikian, dpt menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan." Kedua, ta’arruf jg menekankan pentingnya liberty (kemerdekaan). Ketakwaan yg ingin kita capai dari ta’arruf ni tak akan berhasil kalau kita hidup dlm pengekangan, penjajahan, dan intimidasi. Karena itu, perlunya kebebasan berekspresi yg terbatas (tidak sewenang-wenang), adlh salah satu pilar penting agar nilai-nilai luhur dari ta’arruf ni tercapai. Ketiga, ta’arruf jg berarti adanya komunikasi dialogis. Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Semua hal diselenggarakan berdasar kepentingan pihak-pihak yg terkait, tak monologis oleh kelompok mayoritas yg dominan. Ada pengakuan bahwa kelompok lain jg mempunyai kepentingan yg sama dan mungkin bertabrakan dgn kepentingan sendiri. Penguasaan atas simbol-simbol sosial (kehormatan, kekuasaan, kekayaan) dibagi bersama tanpa monopoli. Demikian pula kekuasaan dibatasi oleh kaidah ta’arruf. Dialog dpt mencegah konfrontasi dan konflik antarwarga. Terakhir (keempat), ta’arruf mempunyai asumsi negara hukum. Hukum positif yg diketahui bersama mencegah pandangan tentang relativitas nilai-nilai. Kelompok-kelompok sosial dgn latar belakang sejarah, kepentingan, dan tujuan berbeda menyebabkan perbedaan pandangan. Sumber relativitas nilai itu dihilangkan oleh pandangan yg sama yg dicerminkan dlm hukum positif yg secara objektif mengikat seluruh warga. Pandangan anarkis (tidak percaya negara, pemerintah, dan hukum) tak ada tempat dlm negara hukum. Karena itu law enforcement yg berupa polisi, alat penegak hukum, dan lembaga pemasyarakatan diperlukan untk menjaga supaya hukum itu berjalan. Demikian beberapa hal yg melandasi bagi terciptanya ta’arruf. Dengan beberapa prinsip ini, maka pantas jika ta’arruf menjadi salah satu dari pilar demokrasi dan jg menjadi satu nilai yg sangat dianjurkan Islam untk melakukannya. Dan ketika semua itu tercapai, diharapkan manusia pun bisa menjadi orang yg bertakwa, puncak terakhir dari tujuan adanya ta’arruf ini.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yg paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yg paling betakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
D |
Dr. Wahbah az-Zuhaili, salah seorang faqih abad ini, dlm kitab tafsir beliau, memaparkan bahwa ayat ni merupakan ayat yg menjelaskan persamaan kedudukan seluruh manusia, tak ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah seorang di antara mereka dibandingkan yg lain, karena seluruh manusia berasal dari bapak dan ibu yg sama. Beliau jg menjelaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adlh untk saling mengenal, bukan untk saling membanggakan nasab. Kuntowijoyo dlm Identitas Politik Umat Islam menulis bahwa setidaknya ada dua hal yg dpt kita tarik dari ayat di atas. Pertama, pd mulanya manusia itu satu, yg menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ialah Tuhan, dan yg mengukur kemuliaan ialah Tuhan. Jadi, ada lingkaran yg berawal dan berakhir pd Tuhan, teosentrisme. Kedua, manusia secara objektif memang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Manusia itu secara ontologis (berdasar kenyataan) memang makhluk sosial, sehingga mereka berkelompok dlm bangsa dan suku. Dalam istilah bangsa dan suku mesti dimasukkan agama, kelas, budaya, partai dan sebagainya. Dengan kata lain, Islam mengajarkan untk berpikir dan berperilaku objektif. Dari ayat ni jelas bahwa filsafat sosial Islam, termasuk hukum, etika, ekonomi, dan politik adlh objektivisme teosentris. Dalam suatu riwayat, ayat ni diturunkan berkenaan dgn kisah Bilal bin Rabah. Saat peristiwa Futuh Mekkah, bilal naik ke atas Ka’bah untk mengumandangkan azan. Melihat akan hal ini, maka ada beberapa orang yg berkata: Apakah pantas budak hitam macam dia mengumandangkan azan di atas Ka’bah? Maka berkatalah yg lainnya: Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. Lalu turunlah ayat ni untk menegaskan bahwa di dlm Islam tak ada diskriminasi. Orang yg paling mulia di sisi Allah adlh orang yg paling takwa. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abi Mulaikah) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ni turun berkenaan dgn Abi Hindin yg oleh Rasulullah hendak dikawinkan dgn seorang wanita Bayadhah. Bani Bayadhah berkata: Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami? Ayat ni turun sebagai penjelasan bahwa dlm Islam tak ada perbedaan antara bekas budak dgn orang merdeka. (HR. Ibnu Asakir dlm Kitab Muhammat yang ditulis oleh Ibnu Basykual dari Abu Bakar bin Abi Dawud dlm tafsirnya) Menurut Kunto, karena al-Qur’an menegaskan adanya kelompok dan solidaritas ini, maka eksistensi keduanya merupakan Fithrah (sunnatullah), yg tak akan berubah (QS. Yunus [10]: 64). Dan seperti dikatakan oleh al-Qur’an, tujuan dari semuanya ni adlh ta’arruf, saling mengenal. Ta’arruf berasal dari kata ‘arafa yg berarti mengerti. Dari mengerti ni akan diharapkan seseorang bisa memaafkan orang lain. Karena itu, dlm pepatah Perancis disebutkan tout comprendrer est tout pardonner, mengerti berarti memaafkan. Menurut Kunto, ta’arruf menjadi salah satu prinsip dari demokrasi. Dalam suatu masyarakat demokratis, semua orang harus mengerti kepentingan orang lain, sehingga hak-hak orang lain tak dilanggar. Menurutnya, setidaknya ada empat hal di mana ta’arruf bisa dilaksanakan. Pertama, ta’arruf hanya bisa berjalan kalau ada equality (persamaan). Persamaan hak antara orang yg berkulit putih dan hitam, antara suku Jawa, Sunda, Makassar, dan suku-suku lainnya di Indonesia maupun dunia, dan jg sama antara laki-laki dan perempuan. Sebab, tujuan dari adanya ta’arruf ni adlh takwah seperti bunyi akhir ayat di atas. Karena itu, ketakwaan tak akan tercipta kalau dlm ta’arruf ni kita mengabaikan unsur kesamaan derajat di antara kita. Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dlm bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa, "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dpt (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki: potensi dan kemampuan yg cukup untk memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ni dpt melaksanakan aktivitas-aktivitas yg bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dlm satu kerangka. Yang ni (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yg itu (perempuan) jg demikian, dpt menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan." Kedua, ta’arruf jg menekankan pentingnya liberty (kemerdekaan). Ketakwaan yg ingin kita capai dari ta’arruf ni tak akan berhasil kalau kita hidup dlm pengekangan, penjajahan, dan intimidasi. Karena itu, perlunya kebebasan berekspresi yg terbatas (tidak sewenang-wenang), adlh salah satu pilar penting agar nilai-nilai luhur dari ta’arruf ni tercapai. Ketiga, ta’arruf jg berarti adanya komunikasi dialogis. Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Semua hal diselenggarakan berdasar kepentingan pihak-pihak yg terkait, tak monologis oleh kelompok mayoritas yg dominan. Ada pengakuan bahwa kelompok lain jg mempunyai kepentingan yg sama dan mungkin bertabrakan dgn kepentingan sendiri. Penguasaan atas simbol-simbol sosial (kehormatan, kekuasaan, kekayaan) dibagi bersama tanpa monopoli. Demikian pula kekuasaan dibatasi oleh kaidah ta’arruf. Dialog dpt mencegah konfrontasi dan konflik antarwarga. Terakhir (keempat), ta’arruf mempunyai asumsi negara hukum. Hukum positif yg diketahui bersama mencegah pandangan tentang relativitas nilai-nilai. Kelompok-kelompok sosial dgn latar belakang sejarah, kepentingan, dan tujuan berbeda menyebabkan perbedaan pandangan. Sumber relativitas nilai itu dihilangkan oleh pandangan yg sama yg dicerminkan dlm hukum positif yg secara objektif mengikat seluruh warga. Pandangan anarkis (tidak percaya negara, pemerintah, dan hukum) tak ada tempat dlm negara hukum. Karena itu law enforcement yg berupa polisi, alat penegak hukum, dan lembaga pemasyarakatan diperlukan untk menjaga supaya hukum itu berjalan. Demikian beberapa hal yg melandasi bagi terciptanya ta’arruf. Dengan beberapa prinsip ini, maka pantas jika ta’arruf menjadi salah satu dari pilar demokrasi dan jg menjadi satu nilai yg sangat dianjurkan Islam untk melakukannya. Dan ketika semua itu tercapai, diharapkan manusia pun bisa menjadi orang yg bertakwa, puncak terakhir dari tujuan adanya ta’arruf ini.
0 Response to "[Opini] TA’ARRUF DAN PRINSIP DEMOKRASI"
Post a Comment