Saat itu, di akhir kelas Mata kuliah Sejarah Pergerakan Islam, Dosen ku, Pak Luthfi Assyaukanie sudah mengumumkan kalau itu kelas terakhir kita. Aku nyeplos, "Pak, sebelum UAS nanti kita makan-makan donk... Yuk pak yuk"
Pak Luthfi jawab, "Boleh juga, tolong nanti kita koordinasi ya. Mau makan dimana??"
"Enaknya dimana Pak? Langganan Bapak?"
"Ya udah, Ke Bumbu Desa Cikini saja, saya suka itu yg ruangan atasnya. Suasanya oke. Tolong kamu reservasikan restoran Bumbu Desa Cikini itu, gimana?"
"Oke pak." Jawab ku. Disambut kata-kata "Asiiik" dari teman-teman yg lain.
Akhirnya, aku mengorganisir kegiatan tutup kelas itu. Tentu saja, Pak Luthfi yg akan mentraktir kita semua sekelas. Jumlahnya sekitar 12 Orang. Jarkom teman-teman dan reservasi tempat via telpon sudah. Tinggal datang aja. Kita ibarat sedang dlm sesi "The Last Supper", 1 Guru dan 12 orang murid nya makan berderet di sebuah meja panjang dgn berbagai lauk pauk khas Bumbu Desa.
Malam itu, Kak Misbah dateng telat. Dia jauh-jauh dateng dari Bogor katanya, hanya untk mendatangi undangan makan itu. Dia jg harus naik Taxi entah dari mana untk sampai di lokasi acara. Ongkos taksi pulang pergi dgn harga makanan yg dia makan itu lebih mahal ongkos taxinya, Dia bilang di taxi pas kita pulang bareng (Aku nebeng pulang sampai gang depan kostan, karena dia senior jurusan, pastilah, dia yg harus bayar Taxi :P), "Gue tu selalu menghargai orang yg ngajak makan. Tradisi makan bareng itu tradisi purba yg harus selalu di junjung tinggi. Dengan ngundang makan bareng, satu sama lain itu nunjukin respect nya. Kayak keluarga gitu. Peradaban mana coba yg nggak ada tradisi makan barengnya?"
Aku pikir, benar juga! Aku senang dgn istilah yg digunakan kak Misbah, Tradisi Purba. Nggak semua yg Purba itu buruk. purba, tradisional, antik / apapun Istilahnya memang lebih aku minati daripada sesuatu yg bersifat modern. Sama seperti orang-orang penganut tradisional yg menganggap tak ada yg buruk dgn kata Tradisional. Bahkan Dosen Mata kuliah Kosmologi ku, Pak Bagir bilang bahwa sesuatu yg sifatnya menuju Ilahi itulah yg disebut dgn tradisional. Lihat saja sesuatu yg tradisional itu cenderung lebih memiliki kearifan daripada sesuatu yg bersifat modern. Oke, tentang ni masih debatable ya. Apalagi bagi mereka yg membanggakan semangat Modernisme. Mungkin bisa dibahas secara khusus.
Kembali ke persoalan makan bareng. Aku jg lebih senang makan bareng daripada harus makan sendirian. Aku yg lahir dari keluarga besar (7 bersaudara) sebelumnya sudah terbiasa dgn "ritual" makan bersama. Aku terlalu senang dgn tugas masak untk makan bersama, menyediakan piring, nasi lauk pauk, minum dan kobokan cuci tangan untk orang tua. Dulu, sebelum kakak-kakak ku menikah, anak yg tertua yg jadi penanggung jawab ritual makan itu. Tapi karena semua kakak cewek ku sudah menikah, jadi aku yg sekarang melakukan tugas itu kalau kita akan makan bersama. Biasanya, kita semua tak akan mulai makan kalau ada salah satu anggota keluarga yg belum duduk manis disekitar makanan. Ibu / bapak akan "berisik" memanggil siapa saja yg belum duduk di sekitar makanan. Kalau memang sedang melakukan pekerjaan yg tak bisa ditinggal, aku / kakakku akan makan di sampingnya, menyuapi supaya judul "makan bareng" nya tetap bisa dipakai. Bahkan kalau dia sedang tertidur sekalipun, selalu ada yg menyuapi. Jadi seringkali, aku menyuapi adik-adikku yg sedang tidur dan mereka bisa dgn lahapnya tidur sambil mengunyah makanan. Biasanya mereka kira kalau mereka sedang bermimpi makan.
Waktu aku sudah SMA pun, bapak ku masih suka menyuapi ku waktu aku tidur. Terutama kalau aku ngambek sama orang tua (lebih sering sama Ibu dulu :P ), aku akan memulai aksi mogok makan, terutama makan malam. Bapakku, jadi orang yg setia menyuapi ku saat tidur. Lagipula dlm keadaan ngambek, aku nggak akan mau makan. Kekanak-kanalam ya... Emang sih... :P
Kemudian 3 tahun ini, aku harus tinggal sendirian di kost. Beribu kilometer jauhnya dari keluarga. Sekarang, yg aku anggap keluarga lah yg biasanya menemaniku makan. Misalnya sahabatku, Rasyid, Ikang, Miftah, Mbak Wahyu (makanya, sedih sekali rasanya saat dia pindah kostan, kalau inget dia nggak ada di kamar sebelah pd malam hari, masih suka nangis TT_TT ), temen-temen kampus Paramadina, dan yg baru-baru ini, aku seringnya makan bersama orang-orang di Kantor ABI. Rasanya, seperti menemukan keluarga disini. Dengan sebuah tradisi purba, Makan bersama.
Makan bersama itu adlh moment dimana aku menemukan lagi keluargaku. Bahkan, ada saat-saat dimana teman-teman ku nggak bisa menemaniku makan. Membuat ku merasa kesepian sebatang kara. TT__TT
Ada jg saat-saat aku nggak bisa makan kalau nggak ada temannya. Misal, waktu lagi sakit (nggak sekedar pengen makan bareng, tapi jg pengen banget disuapin) / pas PMS. Lebih baik aku nggak makan daripada harus makan sendirian. Karena seolah makanan itu nggak ada rasanya. Hambar.
Sebenarnya persoalan makan itu sederhana. Tiap hari, selama kita hidup, kalau nggak ada halangan kita semua jg pasti makan. Tradisi saling traktir dan mengajak orang untk makan bersama jg bagian dari kebudayaan yg sering kita sepelekan. Memang, rasanya cuma hal biasa saja, yaitu persoalan makan. Tapi hal itu jadi serius apabila ada orang yg untk makan saja susah. Padahal, sekali lagi, makan itu hal yg sepele, tapi tak semua punya akses untk itu. Makanya, salah satu hal yg aku syukuri adalah, aku masih punya banyak akses untk diajak makan bersama, / mengajak orang makan bersama. Karena, menyakitkan bagi kita, apabila karena keterbatasan kita, kita / orang-orang sekitar kita mengalami persoalan seperti susah untk makan.
Bukan masalah tentang nebeng makan kemudian kita bisa menghemat anggaran kita. Tapi sekali lagi, ni tentang tradisi purba yg sifatnya universal dan ada dlm tradisi peradaban manapun di dunia yg harus dilestarikan. Jangan sampai, saat perut kita kenyang ada orang yg secara geografis dekat dgn kita yg kelaparan. Makan bersama jg bisa mencairkan suasana dan menambah keakraban. Karena itu jadi salah satu cara untk menghindarkan kita dari sifat Individualistik.
Setuju?
Note :
Tulisan kecil ni untk Keluarga ku teman-teman ku yg sering menemaniku makan. Rasyid, Miftah, Ikang, Mbak Wahyu, Temen-temen Falsafah (Nila, Bang Misbah, Kak Sofyan, Halim yg sering nraktir), Temen-temen di ABI (Taqi, Mas Mono, Murdali, Bagir, Pak Agus, dll) dan Ustad2 di ABI yg memperhatikan "pasukan" nya di kantor dlm hal makan bersama (Ustad Fatah, ustad Syafinnudin, Ustad Ahmad dll), temen-temen Facebook yg ngajakin kopdar dan akhirnya nraktir, dan temen-teman yg tak dpt disebutkan namanya satu-satu. Terimakasih telah ambil bagian dari tradisi ini. ^^, (Serasa ngucapin ucapan makasih setelah dpt Academy Award deh :P)
Note :
Tulisan kecil ni untk Keluarga ku teman-teman ku yg sering menemaniku makan. Rasyid, Miftah, Ikang, Mbak Wahyu, Temen-temen Falsafah (Nila, Bang Misbah, Kak Sofyan, Halim yg sering nraktir), Temen-temen di ABI (Taqi, Mas Mono, Murdali, Bagir, Pak Agus, dll) dan Ustad2 di ABI yg memperhatikan "pasukan" nya di kantor dlm hal makan bersama (Ustad Fatah, ustad Syafinnudin, Ustad Ahmad dll), temen-temen Facebook yg ngajakin kopdar dan akhirnya nraktir, dan temen-teman yg tak dpt disebutkan namanya satu-satu. Terimakasih telah ambil bagian dari tradisi ini. ^^, (Serasa ngucapin ucapan makasih setelah dpt Academy Award deh :P)
source : http://syaharbanu.blogspot.com, http://docstoc.com, http://reddit.com
0 Response to "[Artikel] Tradisi Purba itu Bernama Makan Bersama"
Post a Comment