Republikanisme Berketuhanan
Oleh DR. ASEP SALAHUDIN *)
Naskah ni dimuat HU REPUBLIKA, Rabu, 18 Februari 2015.
Ditempatkannya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama adlh sebuah petunjuk terang bagaimana para pendiri republik ni mengharapkan bahwa bangsa yg didirikannya hanya akan meraih persatuan, kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan ketika nilai-nilai ketuhanan dijadikan pandu, etika universal religiositas menjadi etik imperatif yg memandu perjalanan bangsa. Tidak hanya cukup sebatas ini, dicantumkan pula dlm pembukaan UUD 1945 dan dipertegas Pasal 29 UUD 1945. Pilihan kata yg dianggitnya jg sangat visior, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak menggunakan kata-kata Tuhan yg menjadi ciri khas agama tertentu tapi dlm sebuah ungkapan inklusif. Lewat sila pertama itu minimal tiga hal yg hendak disampaikan: pertama, keniscayaan membangun sikap lapang di tengah mayarakat heterogen; kedua, bahwa “teologi ketuhanan” hendaknya menjadi landasan etik dlm kehidupan kewargaan; ketiga, menggambarkn potret historis bahwa masyarakat Nusantara sudah terkenal sejak jaman dahulu sebagai masyarakat religious, akrab dgn kepercayaan metafisis bahkan selalu menyelesaikan hal ihwal kehidupan terlebih dahulu dimasukan “ke alam kebatinan” sebelum diselesaikan “di luar” melalui langkah-langkah kasat mata. Begitu religiusnya sehingga ketika hendak bikin benda pusaka, berburu, dan / berperang yg terlebih dahulu dilakukan adlh mentautkan diri dgn Pemilik Semesta. Sebelum menajamkan keris dilakukannya samedi. Di tiap pematang sawah diberikan sesajen untk Dewi Sri dgn harapan kelak padi yg didapatkan membawa keberkahan. “Padi” sebagai lambang kehidupan yg mentautkan dunia bawah dan atas. Sebelum bertempur ke medan laga menyerang Hindia Belanda dan sekutunya yg hendak kembali lagi menjajah “dibakarnya” massa dgn teriakan Allahu Akbar oleh Bung Tomo di Surabaya. Tidak sedikit peperangan yg dilakukan masa kolonial mengusung sentimen keagamaan. Ditemukannya hari ni banyak rumah ibadah sebagai peninggalan silam. Candi, Vihara, Gereja, Sinagog belum lagi masjid dan langgar dlm hitungan tak terhingga. Bahkan masjid yg ada di kepulauan Nusantara dibangun kebanyakan tanpa bantuan negara tapi sepenuhnya inisiatif masyarakat. Rumah ibadah banyak berdampingan tanpa menimbukan gesekan. Dunia pewayangan berlimpah petuah bermuatan ruhaniah. Belum lagi kearifan lokal dan narasi mitologis yg begitu kental kandungan ajaran ketuhanannya yg sudah ribuan tahun hidup dlm memori kolektif kaum leluhur. Tentu saja konsep ketuhanannya bisa jadi berbeda, tapi Tuhannya itu sendiri sama. Karena konsep berhubungan dgn kebudayaan, sementara Tuhan itu sendiri secara ontologis adlh abadi dan melampaui sejarah. Yang berbeda adlh Tuhan epistemologis, sementara Tuhan ontologisnya adlh sama.Sebuah ironi
Sayang hari ni abad 21, “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu acapkali berhenti sebatas sila verbalisitik yg sama sekali tak memiliki dampak dlm sejarah pegalaman keseharian warga. Agama dan kepercayaan hanya menjadi “ornamen”, sekadar kolom administrasi agar di KTP tercantum identitas terang. Ketuhanan Yang Maha Esa yg lamat tapi pasti sudah mulai kehilangan daya rajahnya dan kemudian hanya menyisakan kegaduhan peragaan kontestasi antar agama (dan ormas) untk saling berebut pengaruh di ruang publik yg semestinya dirawat sebagai bagian milik bersama. Agama kemudian tak ubahnya “benda”, diperdagangkan lewat mikropon dgn volume suara yg memekakan telinga. Diteriakan bukan hanya lewat rumah ibadah, tapi jg layar kaca bahkan kalau perlu dilakukan arak-arakan di jalanan sambil meneriakkan Allahu Akbar dgn motif menegakkan kebaikan dan menghancurkan kemungkaran. Agama tak ubahnya “barang kodian” yg tengah berebut mencari pembeli di pasaraya masyarakat yg sedang kehilangan orienetasi dan jg kehilangan pandu keteladanan. Tidak saja “agama” bahkan jg “turunannya”. Dengan mudah kita temukan bagaimana kebencian dirayakan untk menganggap “liyan” terhadap syiah, ahmadiyah, dan kepercayaan lainnya. Bagaimana seorang pedzikir Ustad Arifin Iham dgn heroik (dan genit) menyerukan jihad fi sabilillah terhadap syiah seandainya polisi tak bisa menyelesaikan kasus yg menimpanya yg konon berawal dari penyerbuan kelompok syiah yg memang sejak awal diyakini sebagai sesat itu. Seorang Ustad yg seharusnya bisa berpikir jernah ternyata tak lebih pintar dari umatnya yg sudah mulai banyak yg berpikiran lapang (kecuali diprovokasi elit agamanya).Agama serupa politik
Agama menjadi serupa politik. Membutuhkan spanduk, baliho, pamflet, lengkap dgn tim sukses, juru kampanye dan panggung yg diciptakannya di tiap jengkal tanah. Seperti politik, dlm memasarkannya yg dikedepankan adlh kecermatan retorika, kehebatan menampilkan citra dan kesigapan memburu “lawan” yg harus lekas ditundukan. Kalau politisi kesenangannya menghimpun massa, maka “tokoh agama” jg merasa diakui eksistensinya kalau sudah menjadi dai sejuta umat. Kalau masa sudah bisa dikendalikan lewat pukau ceramahnya dan kalau perlu lewat khutbahnya yg penuh kebencian dan menganggap lian yg tak sehaluan sebagai kafir dan bidah. Dalam agama dan politik populer seperti ni tentu tak diperlukan kedalaman materi agama, kajian komprehensif, dan tak usah mesantren puluhan tahun ke kyai-kyai sepuh di berbagai pelosok. Modalnya cuma dua: retorika dan keberanian tampil ke muka dan sisanya adlh menguasai strategi memasarkan diri. Alih-alih memposisikan diri sebagai kekuatan moral dan menampilkan pribadi yg layak diteladani karena sikapnya yg juhud justru gaya hidupnya menjadi layaknya selebritas: mengoleksi mobil mewah dan gandrung pemberitaan. Rumahnya tak lagi di tengah umat yg melarat tapi di komplek perumahan elit, nyaman dan berpagar tinggi lengkap dgn satpam yg siaga penuh 24 jam. Dan jangan terlampau disalahkan kalau akhirnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun nyaris kehilangan implikasi moralnya baik dlm konteks kewargaan ataupun kebangsaan karena diam-diam yg menjadi Maha Esa itu adlh kebendaan. Kalau Bung Karno menyebut Ketuhanan yg Berkebudayaan maka hari ni ketuhanan itu telah kehilangan jangkar kebudayaannya. Tuhan yg ter(di)cerabut dari akar masyarakatnya. Di titik ni tdak perlu heran walaupun negara kita falasahnya Pancasila, tapi menjadi pemenang dlm tingkat kontestasi korupsi mengalahkan negara-negara yg oleh kita dianggap “kafir” tak bertuhan. Yang dikorupsi bukan hanya anggaran bahkan jg firman Tuhan, yg dijarah tak saja retribusi tapi jg dana abadi haji. Ironi dgn sempurna telah mengepung kita. Maka pertanyaannya masih layakkah kita mengaku sebagai republik berketuhanan? Justru ketika religiositas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu kehilangan etika imperatifnya di ruang publik yg majemuk, saat keutamaan dan nilai-nilai luhur itu (civic virtue) telah terkubur konsumerisme dan tergerus neoliberalisme.[]*)Penulis adlh Inisiator Gerakan Civic-Islam. Dosen di Beberapa Perguruan Tinggi. Peneliti Lakspesdam Jabar. Kolomnis Media Massa.
source : http://civicislam.blogspot.com, http://imgur.com, http://detik.com
0 Response to "[Opini] Opini Tentang Republik dan Keagamaan dalam Perspektif civic-Islam"
Post a Comment