This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Curhat] Melintasi Ketakutan

Dulu aku begitu kagum dgn kata-kata yg dipilih JK Rowling di dlm buku Harry Potter, ketika Lupin berkata pd Harry, "Ketakutan terbesarmu adlh ketakutan itu sendiri, Harry." Novel Harry Potter sudah tamat sejak aku SMA. Sudah berhasil membaca semua serinya jg berulang kali. Tapi sampai sekarang aku masih memikirkan kalimat itu, di kepalaku.
Memikirkannya, membuatku merasa bahwa barangkali Dementor sedang berada di dekatku dan menyerap kebahagiaan yg seharusnya bisa aku pilih. Memikirkan ketakutan-ketakutan, serta merta membuat jantungku berdegub keras. Tiba-tiba aku akan terlempar ke bawah kubah kecemasan. Hatiku mencelos turun ke perut dan jantungku rasanya membesar.
Lalu aku berfikir, betapa anehnya ketika aku justru membiarkan diri disiksa oleh hal-hal yg belum terjadi. Atau hal-hal yg sudah terlanjur terjadi. Ketakutan itu mengkristal dlm celah-celah harapan, menjadikan cahaya yg harusnya terang dilingkupi setitik 'ketiadaan cahaya'.
Bagaimana mungkin ada perasaan takut kehilangan sesuatu yg bahkan belum -atau justru- tak pernah kita miliki? Bagaimana mungkin ketakutan itu datang kepada sebuah masa dimana kita bahkan belum melangkah di dalamnya?
Kehidupan, kebenaran dan cinta adlh bagian dari semesta, bagian dari manusia yg hingga kini masih terus dipertanyakan. Jika ada jawabnya, kita masih saja tak selesai memahaminya. Yang aku tahu, pemahaman itu bergradasi. Aku mesti berdarah-darah dan berurai airmata sambil terseok-seok menggapai gradasi terpekat dari puncaknya.
Orang-orang sering berkata bahwa harapan wujudnya bagai tiang gantungan. Ada algojo yg sudah menunggu kita untk di eksekusi.
Lalu sejarah bercerita, tentang orang yg memilih mati untk hidup, tentang orang yg hidup untk memilih kematiannya sendiri dan tentang orang yg hidup diatas kematian orang lain. Jika aku harus memilih, aku ingin mati untk hidup. Walau itu tak akan serta merta menjadikan aku martir. Iya, memang tak banyak yg sudah aku perjuangkan. Tidak banyak yg aku perbuat selama ini. Lalu bagaimana mungkin aku bisa mati untk kehidupan itu sendiri.
Aku perlu menghela nafas, sembari mengeja kehidupan yg memang rumit, kerumitan itu yg menjadikan ia begitu cantik. Begitu misterius sekaligus berbahaya.
Aku tak pernah selesai untk bertanya pd diri sendiri, seberapa besar ketakutanku untk hidup / seberapa besar ketakutan untk mati.
Bukankah ancaman menuju kematian sudah terlalu sering? Tapi aku tak jg menyingkir ke wilayah aman. Wilayah yg aku pijak adlh wilayah yg aku cintai. Bukankah indah jika akhirnya memilih kematian di wilayah yg kita bela setengah mati. Kita torehkan jiwa raga kita untk hal yg kita anggap pantas diperjuangkan.
Jika aku sempat berpikir tentang ketakutan, tentu saja, aku jg masih punya waktu untk keberanian. Aku masih punya tempat untk berjuang, setidaknya untk hal-hal kecil yg aku yakini sebagai kebenaran. Aku akan melanjutkan hidupku, yg berisi separuh ketakutan, separuhnya lagi keberanian. Kemudian menghimpunnya sebagai kekuatan.
Yang paling utama, aku ingin membunuh cemas. Tepat di pangkalnya ketika ia datang. Terutama jika ia berbentuk ketakutan akan hilangnya hal-hal yg tak pernah kita miliki, terhadap yg belum pernah terjadi. Terhadap apapun, yg menjadikan aku takut untk mati.
--
Jakarta, Menjelang 10 Muharram

source : http://google.com, http://tribunnews.com, http://syaharbanu.blogspot.com

0 Response to "[Curhat] Melintasi Ketakutan"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *