This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Opini] Esai Tentang Civic Islam Merespons Ruang Publik Kota Bandung

Esai Tentang Civic Islam Merespons Ruang Publik Kota Bandung
Catatan untk Ridwan Kamil
RUANG PUBLIK KOTA BANDUNG
Oleh ASEP SALAHUDIN
Sudah lama pasar melakukan depolitisasi warga, yakni untk sekadar menjadi konsumen. Di ruang publik, kekuatan modal bekerja memanipulasi dan mendisorientasi warga untk hanya berpartisipasi dlm komodifikasi budaya pop (pop-culture). Ini melumpuhkan daya kritis mereka sebagai warga ruang-publik. Warga digiring seperti bebek yg berbondong-bondong ke mall-mall. Warga difasilitasi untk merasa memiliki privilese di zona-zona nyaman tapi semu kebudayaan kapitalisme. Hirarki diciptakan berdasarkan ketebalan dompet. Diskriminasi terjadi secara otomatis berdasarkan purchasing-power, daya-beli mereka. Zona-zona kenyamanan semu itu sangat eksklusif bagi mereka yg merasa mampu memasukinya, sekaligus sangat esklusioner terhadap mereka yg tak sanggup memasukinya. Pernyataan di atas disampaikan peneliti AE Priyono, dlm sebuah diskusi terbatas di LP3ES (25/2/2015) yg menenggarai semakin tergerusnya ruang publik oleh kepentingan kaum pemodal. Warga sebagai pemilik sah ruang terbuka akhirnya terpaksa semakin “tersudutkan” ke wilayah entah.
Wali kota
Dalam konteks kota Bandung, inilah yg menjadi salah satu concern wali kota Ridwan Kamil, mengembalikan ruang publik kepada fungsi awalnya. Maka dibikinlah banyak taman kota. Ditatalah tempat-tempat yg selama ni kurang berfaidah seperti di bawah jalan layang menjadi tempat yg nyaman. Dihamparkanlah rumput-rumputan di halaman masjid Raya tempat warga kota bercengkrama, anak-anak riang bermain dan yg berpacaran semakin mendapatkan medan aduhai sambil menyimak gema adzan yg berkumandang dari rumah Tuhan. Di seberang itu, diimajinasikan tentang indeks kebahagiaan yg meningkat. Konon masyarakat urban identik dgn stres dan defresi dan ruang-ruang seperti itu disinyalir dpt menurunan tingkat stres warga. Dibayangkanlah tentang negara yg tak pernah henti dikelola secara asal-asalan, beras melambung, perumahan yg mahal, rupiah melemah, harga-harga tak menentu, lembaga korupsi yg terus menerus dirongrong wibawanya, kemudian semua problem itu menemukan jalan keluarnya berupa “taman-taman” kota itu.
Dukungan
Di titik ni tentu kita harus menyambut positif upaya Sang Wali kota. Minimal beliau telah mengkhidmatkan diri bikin warganya sorak sorai bergembira, membuat masyarakatnya senang. Apalagi Pak Wali kota dgn wajahnya yg cakap selalu menyapa warganya secara ramah lewat twitter yg kemudian telah menjadi buku dan konon best seller. Dan sesekali berhenti menghardik supir truk yg berhenti serampangan lengkap dgn “timnya” yg sigap mengabadikan momen-momen “penting”. Untuk diunggah ke media sosial. Sunggah kita punya Wali kota yg sadar kamera. Di masa Ridwan Kamil jg kesebelasan kesayangan masyarakat Bandung dan Jawa Barat pd umumnya Persib dpt meraih juara. Kesebelasan dgn fanatisme para pendukungnya yg nyaris melumpuhkan akal sehat, sikap taklidnya melampaui fans MU, Barcelona / Real Madrid sekalipun. Apa hendak dikata, kata kawan saya salah seorang pendukung setianya, pergi menonton persib seperti berangkat menuju palagan untk jihad fi sabilillah, serupa memburu pahala (dan piala). Di tangan politisi termasuk Wali kota dan Gubernur Jawa Barat fanatisme seperti ni menjadi jalan, dlm angon-angon Sunda terwadahi pd ungkapan aya jalan komo mentas mobok manggih gorowong, mendulang suara, minimal investasi untk menggembalakan suara hal mana kelak dpt dipetik hasilnya ketika musim panen pemilihan tiba. Dalam demokrasi elektoral, situasi seperti itu adlh cara mudah meraup suara sebesar-besarnya. Tak heran Sang Wali kota dan Tuan Gubernur rela ikut bersama-sama para bobotoh nonton Persib dlm laga final ISL 2014 yg bersejarah itu.
Melampaui pencitraan
Tentu saja harapan seluruh warga, minimal harapan saya sekeluarga, semuanya tak berhenti sebatas taman, tak lekas puas sekadar kebijakan yg bersifat sesaat dan semata hanya berhenti pd rute yg berujung pd “upacara”. Harus dibikin kebijakan-kebijakan substansial yg berjangka panjang dan bersentuhan dgn pemenuhan hajat hidup orang banyak. Jangan muncul anggapan bahwa Pak Wali kota hanya bikin kegiatan dan kebijakan yg berwatak permukaan saja sebagai ekspresi dari ketakmampuan mengelola kota dgn benar, profesional, transparan dan bertanggungjawab. Warga layak menanyakan tentang kelanjutan kebersihan kota, Cikapundung yg belum terkelola, banjir yg rutin saat musim penghujan tiba, sampah yg masih berserakan, kemacetan yg belum terurai, jalan-jalan yg masih banyak berlubang, birokrasi yg tetap bermental dilayani (bukan melayani), pendidikan yg dikelola belum secara seksama. Jangan pernah bosan menyuntikkan etika multikultural kewaragaan kepada masyarakat Bandung. Bandung bukan milik sebagian kelompok etnik, agama, dan / sesuatu yg berafiliasi pd sentimen sektarian, tapi adlh milik seluruh warga masyarakat apapun agama dan afiliasi keyakinannya. Ini penting ditekankan sebab ruang publik kota Bandung adlh ruang dgn heterogenitas yg kental. Bukan hanya etnik tapi jg aliran agama yg tak sama terbentang mulai Sunni sampai Syiah. Ini penting diingatkan sebab akhir-akhir ni di Bandung ada sebagian kecil forum keagamaan yg bernafsu menebar kebencian lewat spanduk yg ditancapkan di berbagai sudut kota yg isinya tak lebih adlh undangan untk menista salah satu kelompok keagamaan yg sejak semula dianggap bid’ah, sesat dan menyimpang. Wali kota (dan wakilnya yg nyaris suaranya tak pernah kedengaran) harus bertindak sebagai pemimpin, bukan partisan. Seandainya ada Rebo nyunda, tentu bukan bermakna menganggap paria etnik di luar Sunda, tapi sebagai ekspresi saja dari kecintaan pimpinan terhadap haluan kulturalnya. “Politik identitas” sebagai siasat untk semakin mendekatkan warga dgn akar budayanya.
Partisipasi
Ruang publik justru menjadi penting sebagai tempat masyarakat ikut berpartisipasi, sebagai ruang delibrasi untk semakin mematangkan demokrasi dan hak-hak politik kewargaan. Ruang publik tak boleh dikorbankan apalagi sekadar mengikuti kemauan para pemilik modal. Sebab, dlm telaah AE Priyono, “ada gejala ruang-publik diokupasi secara sangat agresif dan destruktif oleh kekuatan-kekuatan modal demi logika pasar. Ruang-publik yg seharusnya terbuka untk semua orang secara setara, telah dikapling-kapling sedemikian rupa sehingga menciptakan pengerasan kelas-sosial dan kasta-ekonomi sekaligus. Ini berarti ruang publik yg seharusnya menciptakan kultur demokratis yg membuka diri pd semua orang, semua warga, telah dikorporatisasi oleh kekuatan-kekuatan privat. Ruang-publik telah diprivatisasi. Celakanya, yg memfasilitasi privatisasi ruang-publik adlh negara, melalui mesin birokrasinya yg menjual ruang-ruang publik untk kepentingan profit-making di dlm logika ekonomi-rente.”
Semoga kota Bandung yg sebentar lagi akan menyelenggarakan hajat KAA (Konferensi Asia Afrika) semakin menampakkan wajahnya yg berwibawa. Dasasila menjadi spirit dan memberikan arah kepastian ke arah gerak kota yg sebenarnya: bahwa kota kembang itu lebih berkembang.*** (Tulisan ni telah dimuat sebelumnya di HU REPUBLIKA pd 19 Maret 2015)

source : http://kompas.com, http://google.com, http://civicislam.blogspot.com

0 Response to "[Opini] Esai Tentang Civic Islam Merespons Ruang Publik Kota Bandung"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *